PERMASALAHAN OBAT
Reaksi Obat Yang Tidak Diinginkan
Setiap efek
yang tidak diduga dan dimaksudkan akibat pemberian obat dengan dosis
terapeutik, mempertimbangkan masalah obat mencakup evaluasi reaksi yang tak
diinginkan serta respon yang tak diduga berikut ini:
Respons Obat Yang Tidak Diinginkan
- Alergi obat
- Hipersensitivitas
- Idiosinkrasi
- Toleransi
- Akumulasi
- Ketergantungan
- Sinergisme
- Antagonisme
- Interaksi obat
Beberapa Istilah Yang Perlu Diketahui
Toleransi Obat
Toleransi obat adalah resistensi yang terjadi sebagai akibat
pemakaian yang menahun. Untuk memperoleh efek yang sama, dibutuhkan makin
banyak obat, artinya dosisnya makin tinggi. Contoh: barbiturate.
Habituasi
Habituasi atau ketagihan, adalah kejadian pemakaian obat
secara menahun yang menyebabkan gangguan emosi bila pemberian obat itu
dihentikan. Contoh: merokok (nikotin) dan minum kopi (kafein).
Adiksi
Adiksi adalah kejadian pemberian obat yang menyebabkan
toleransi dan penghentiannya menyebabkan timbulnya sindrom gejala putus obat ( withdrawal syndrome). Contoh: morfin.
Idosinkrasi
Adalah efek abnormal dari obat terhadap seseorang. Misalnya,
morfin yang biasanya mengakibatkan depresi, pada orang itu malah menimbulkan
eksitasi atau pemberian pentaquin menimbulkan anemia hemolitik pada orang kulit
hitam di Afrika. Penyebab idosinkrasi adalah factor generic berlebihan.
Factor yang mempengaruhi insidens reaksi obat yang merugikan
1) Jumlah
obat dalam dalam satu kali pengobatan. Makin banyak obat, makin besar
kemungkinan efek samping.
2) Jenis
kelamin pasien. Perempuan dikatakan minum lebih banyak obat dari pada
laki-laki.
3) Usia.
Lansia, anak-anak dan neonatus perlu dimodifikasi dosis obatnya.
4) Penyakit
itu sendiri. Misalnya, pasien dengan gagal ginjal diberi digoksin dengan dosis
normal. Digoksin akan tertimbun dan dapat menimbulkan keracunan digoksin. Atau
pasien dengan sirosis hati dapat menimbun sembarang obat yang biasanya
dimetabolisasi oleh hati.
5) Riwayat
adanya asma alergi atau reaksi alergi terhadap obat, makanan atau lainnya, maka
harus hati-hati.
6) Pengobatan
dengan keoterapi terhadap kanker.
7) Efek
samping dapat timbul akibat menaikkan dosis obat yang biasanya tidak bereaksi,
mengganti cara pemberian obat, atau memakai obat dengan merek dagang lain.
8) Idiosinkrasi.
9) Banyaknya
obat yang beredar menyebabkan kemungkinan pemberian obat yang salah, misalnya
Leucovorin ( antidot terhadap antagonis asam folat) dan Leukeran ( obat
sitotoksik);Lanoxin (glikosida digitalis) dan Laroxyl ( antidepresan
trisiklik);minomycin (antibiotika) dan miomycin ( obat sitotoksik).
10) Mudah
didapatnya obat, dengan atau tanpa resep di took obat.
11) Kurangnya
komunikasi antara pasien dan dokter tentang penggunaan obat yang benar.
12) Peningkatan
penggunaan obat secara illegal seperti narkotika, dan halusinogen, merokok,
tranquilizer dan alcohol, serta kombinasi diantaranya.
13) Variasi
genetik dalam masyarakat, yang mempengaruhi respons individual terhadap terapi
obat.
Dosis obat
a) Dosis
toksik
Adalah dosis yang menimbulkan
gejala keracunan.
b) Dosis
minimal
Dosis minimal adalah dosis paling
kecil yang masih mempunyai efek terapeutik.
c) Dosis
maksimal
Dosis maksimal adalah dosis
terbesar yang mempunyai efek terapeutik, tanpa gejala, atau efek toksik.
d) Dosis
terapeutik
Dosis terapeutik adalah dosis
diantara dosis minimal dan maksimal. Dosis terapeutik dipengaruhi oleh umur,
barat badan, jenis kelamin, waktu pemberian obat, cara pemberian obat,
kecepatan pengeluaran obat, kombinasi obat, jenis bangsa, spesies dan
tempramen.
Penyebab Reaksi Obat Yang Tidak
Diinginkan
Overdosis atau kelalaian
Keadaan ini sering terjadi dan
faktor penyebabnya adalah:
1) Usia.
Lansia sering lupa bahwa ia sudah sudah minum obat, sehingga sering terjadi
kesalahan dosis karena lansia minum lagi.
2) Merek
dagang. Banyaknya merek dagang untuk obat yang sama, sehingga pasien bingung,
misalnay furosemid (antidiuretik) dikenal sebagai Lasix, Uremia dan Unex.
3) Penyakit.
Penyakit yang menurunkan metabolisme obat di hati atau eksresi obat melalui
ginjal akan meracuni darah.
4) Gangguan
emosi dan mental menyebabkan ketagihan penggunaan obat untuk terapi penyakit
(habituasi), misalnya barbiturate, antidepresan dan tranquilizer.
Alergi obat
a) Lesi
kulit: Urtikaria,dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens Jhonson, purpura,
dermatitis kontak.
b) Bronkospasme
dan edema larings ( sesak nafas dan batuk).
c) Reaksi
anafilaktik (syok)
Mekanisme respon alergi
Reaksi alergi disebut juga reaksi heipersensitivitas, adalah
respon imunologi tubuh terhadap substansi asing yang disebut antigen. Contoh
antigen yang dapat menimbulkan/membangkitkan reaksi alergi adalah protein, serbuk,
debu rumah, bulu jamur, dan sebagainya. Umumnya antigen itu berbobot molekul
tinggi.
Peran
antigen adalah merangsang pembentukan antibody (zat anti) khas terhadap antigen
tersebut; terjadi reaksi antigen-antibody. Reaksi antigen-antibody ini dapat
melindungi tubuh terhadap pengaruh antigen atau menimbulkan reaksi alergi, yang
adapat merusak jaringan setempat. Sebagai akibat reaksi alergi terhadap ini
dibebaskan sejumlah zat histamine,bradikidin dan SRS-A (slow reacting substance of anaphylaxis) yang mengakibatkan
kontraksi otot polos bronkus, pelebaran pembuluh darah dan peningkatan
permeabilitas kapiler.
Antibody
diperoleh dari molekul immunoglobulin yang disebut globulin-gamma. Dikenal 5
golongan immunoglobulin (ig), yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, IgM. Tergantung jenis
reaksi antigen-antibody, maka reaksi alergi dibagi dalam 4 kategori:
1) Tipe
1 (reaksi anafilaktik)
Ditandai syok anafilaktik (bahkan meninggal) dengan
urtikaria akut,edema larings, asma akut, hipotensi. Obat penyebab yang paling
sering penicillin, dekstran, kontras beryodium (radiology), tiopenton, relaksan
otot.
2) Tipe
2 ( reaksi sitotoksik)
Reaksi ini ditandai penghancuran sel darah merah dan
trombosit. Contoh reaksi ini adalah penyakit hemolitik pada neonatus, reaksi
transfusi darah, anemia hemolitik tertentu, purpura akibat obat,
agranulositosis akibat obat. Obat penyebab yang paling sering adalah penisilin,
sefalotin, quinidin, rifampicin, metildopa.
3) Tipe
3 ( reaksi kompleks imun)
Reaksi ini jarang ditemukan, ditandai oleh demam,urtikaria,
artralgia, trombi, hemoragi, nefritis, artrisis reumatoid. Obat yang paling
sering:
·
Penisilin
·
Sulfonamide
·
Streptomisin
·
Hidralazin
·
Tiourasil
·
Isoniazid
·
Rifampisin.
4) Tipe
4 ( reaksi hipersensitivitas tertunda)
Paling sering berupa dermatitis
kontak, reaksi penolakan, reaksi autoimun.
Interaksi Obat
Bila dua atau lebih obat diberi
bersamaan, dapat terjadi interaksi obat. Interaksi biasanya ditandai potensiasi
atau antagonisme dari salah satu obatnya.
Inkompatibilitas farmakologis
Adanya
endapan adalah tanda inkompatibilitas. Dua macam obat dicampur dalam satu
semprit,atau obat suntik dalam cairan infus. Misalnya penisilin di-nonaktifkan
oleh aminogloksida. Kadangkala interaksi ini malah bermanfaat bagi pasien,
misalnya kerja antikoagulansia dari heparin (asam) dapat dihambat dengan
pemberian protamin (basa). Protamin dapat dipakai sebagai antidot spesifik
terhadap overdosis heparin.
Mengganggu absorpsi saluran cerna
Absorpsi
obat dari saluran cerna dapat meningkat atau mengurang. Obat dapat pula
mempengaruhi motilitas tulang usus dan lambung, misalnya metoclopramide mempercepat pengosongan lambung. Obat-obat di dalam
usus seringkali diikat, sehingga tidak dapat diserap. Tetrasiklin didikat oleh
ion kalsium, ion magnesium dan aluminium, yang merupakan komponen antasida, dan
oleh ion besi.
Penggeseran ikatan pada protein
plasma
Obat
bebas ( tidak terikat) dalam plasma bertanggung jawab terhadap efek
farmakologisnya. Ikatan pada protein plasma, terutama alabumin, dapat terjadi
dengan sembarang obat. Obat dengan afinitas tinggi terhadap tempat ikatan itu
dapat menggeser obat yang kurang kuat ikatannya sehingga konsentrasi obat yang
tergeser/terlepas itu meningkat didalam darah. Misalnya, kerja antikoagulan
dari warfarin meningkat dengan pemberian fenilbutazon; efek metotreksat
meningkat dengan aspirin dan sulfa.
Ketergantungan obat
Obat
yang menyebabkan ketergantungan mempunyai sifat umum yang sama, yaitu mengubah
aktivitas system saraf pusat sebagai berikut:
·
Mengurangi ketegangan dan kegelisahan
·
Merasa “bebas”, senang, di awang-awang
·
Peningkatan kemampuan mental dan fisik temporer
·
Menghilangkan kontrol yang menghambat ( takut,
dsb) dan mengubah persepsi sensoris.
Ketergantungan
obat dapat dibagi dalam dua komponen yaitu:
1) Ketergantungan
psikologis, yang mengandalkan obat/obat
tertentu demi kesenangan dan kenyamanan yang dirasakan saat
menggunakannya, dapat menimbulkan “craving” hebat (sangat menginginkan).
2) Ketergantungan
fisik, yaitu adaptasi seluler terhadap obat sampai timbul toleransi dan withdrawal syndrome. Withdrawal syndrome
ditandai dengan perubahan fisiologis bila obat yang bersangkutan dihentikan
tiba-tiba. Gejalanya bisa seperti berikut:
·
Kulit yang hangat, lembab, gatal
·
Mual dan muntah
·
Gelisah
·
Pupil sangat kecil
·
Hidung dan mata basah
·
Menguap
·
Menggigil
·
Nafas cepat dan tidak teratur
·
Tremor dank ram.
Toleransi
berarti memerlukan dosis obat yang makin tinggi untuk mencapai efek yang sama
dengan dosis yang biasanya lebih rendah.
Ketergantungan bervariasi sesuai jenis obat
1) Ketergantungan
obat jenis opiate ( narkotik)
2) Ketergantungan
obat jenis barbiturate/alcohol
3) Ketergantungan
obat jenis cannabis
4) Ketergantungan
obat jenis kokain
5) Ketergantungan
obat jenis amfetamin
6) Ketergantungan
obat jenis halusinogen
7) Ketergantungan
obat jenis pelarut/solven yang mudah menguap
Pengobatan ketergantungan
Pengobatan terhadap gejala
withdrawal didasarkan pada dua prinsip:
1) Mengganti
obat itu dengan obat yang secara farmakologis atau fisiologis ekuivalen.
2) Secara
bertahap mengurangi obat ekuivalen itu, lamanya tergantung keadaan klinis
pasien.
Kesalahan pemberian obat
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah,
mencakup faktor lain yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya:
·
Lupa
memberi obat
·
Memberi dua kali obat yang dilupakan sebagai kompensasi
·
Memberi obat yang benar pada waktu yang salah
·
Atau memberi obat yang benar melalui rute yang
salah.
Kepatuhan
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan
serta pemberiannya di rumah sakit diikuti dengan benar, atau tidak jika terapi
akan dilanjutkan setelah pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat
meneruskan terapi tersebut tanpa pengawasan. Terutama penting untuk
penyakit-penyakit menahun, seperti asma, astritis rheumatoid, hipertensi,
tuberculosis paru, dan diabetes mellitus.
Faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan:
1) Kurang
pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan itu
2) Pasien
tidak mengerti tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan
sehubungan dengan prognosisnya.
3) Sukarnya
memperoleh obat itu di luar rumah sakit
4) Mahalnya
harga obat
5) Kurangnya
perhatian dan kepedulian keluarga, yang mungkin bertanggung jawab atas
pembelian atau pemberian obat itu kepada pasien.
Untuk itu
sebelum pasien pulang kerumah, tim kesehatan harus yakin bahwa pasien
mengetahui:
a. Nama
dan kekuatan obatnya
b. Kegunaan
obat itu
c. Jumlah
obat untuk dosis tunggal
d. Jumlah
total kali minum obat
e. Waktu
obat itu harus diminum, misalnya berkaitan dengan makan
f. Untuk
berapa hari obat itu harus diminum
g. Rute
pemberian obat
h. Perhatian
khusus yang diperlukan oleh rute peberian, misalnya tetes mata, supositoria
i.
Tindakan apa yang harus diambil bila upaya minum obat,
khususnya digoksin, terapi antikoagulan oral.
Implikasi keperawatan
Konseling dasar untuk pasien yang akan pulang mencakup
penyuluhan hal berikut ini:
- saat alcohol dikontraindikasi bila sedang minum obat tertentu
- pantangan makanan tertentu (misalnya, hindari ekstrak daging, keju lunak, buncis tertentu saat sedang minum MAOIS)
- obat non-resep yang dikontraindikasi ( misalnya, aspirin dan analgesik pengandung- aspirin pada terapi antikoagulan oral)
- jangan mengoperasikan mesin rumit atau mengendarai mobil pada terapi obat tertentu ( misalnya, sedativf, antihistamin)
- efek samping apa yang diperkirakan, dan bagaimana mengatasinya
- memperbaiki kondisi penyimpanan obat yang dipakai.
Sumber: Farmakologi untuk
keperawatan/Jan Tambayong,Jakarta:Widya
Medika,2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar